• MAJALAH SINARANProduk Kajian MPAQ : Agar Ibadah Menjadi Lebih Midah
  • KADER DAKWAHKader-kader Islami yang telah disiapkan untuk Dakwah
  • ARAHAN PAK YAIPengarahan sebelum pengukuhan MPAQ Daerah
  • KAJIAN JUM'ATKajian jum'at rutin, bersama Ust. Suparman Al Jawi
  • MPAQ Daerah CilacapPengajian Akbar dan Pengukuhan Anggota MPAQ Daerah Cilacap dsk
  • MPAQ Daerah KlatenPengajian Akbar dan Pengukuhan Anggota MPAQ Daerah Klaten dsk
  • css sliderPengajian Akbar dan Pengukuhan Anggota MPAQ Daerah Magelang dsk
  • MPAQ Daerah YogyaPengajian Akbar dan Pengukuhan Anggota MPAQ Daerah Yogya dsk

Orang Liberal Menggugat Al-Qur’an

Salah satu hal yang tidak luput dilakukan oleh orang-orang liberal adalah menggugat otentisitas al-Qur’an. Pernah di Yogyakarta, sebuah kampus yang notabene Islam meluluskan sebuah tesis master yang selanjutnya diterbitkan menjadi sebuah buku, dengan judul“Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”. Buku ini pada intinya berisi berbagai pendapat dan pernyataan yang bersifat menggugat kesucian ( sakralitas ) al-Qur’an. 

Diantara yang tertulis dalam buku tersebut; “Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat didalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita”.

Orang Liberal mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Produk Budaya
Majalah GATRA edisi 07 Juni 2006 memberitakan bahwa gugatan terhadap kesucian al-Qur’an juga pernah terjadi pada salah satu perguruan tinggi Islam di Surabaya. Tepatnya adalah ketika seorang dosen secara sengaja menginjak lafadz “Allâh” yang ia tulis sendiri. Tindakannya ini tiada lain sebenarnya dilatar-belakangi oleh keinginan si dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci, tetapi hasil produk budaya ( muntaj tsaqôfi ). Ia mengatakan : “ sebagai budaya, al-Qur’an tidak sakral. Yang sakral adalah kalamulloh secara substansif”.

Hal yang sangat perlu menjadi titik perhatian kita atas fenomena diatas adalah cara berfikir dosen yang sangat salah dan naif, dimana dengan sengaja ia berani menginjak lafadz Allâh. Dengan cara pandang ( worldview ) yang memandang al-Qur’an sebagai produk budaya, ia berani melakukan hal yang bernilai merendahkan atau meremehkan lafadz Allâh. Dia sedang mengamalkan ilmunya yang salah. Inilah sebuah contoh luar biasanya sebuah kerusakan ilmu. Ilmu yang salah pasti akan melahirkan amal yang salah.

Gerakan upaya desakralisasi ( menafikan kesucian dan keaslian ) al-Qur’an melalui berbagai tulisan terasa sudah mulai merambah berbagai kalangan perguruan tinggi. Berkembangnya diskusi atau wacana studi kritis al-Qur’an dalam mata perkuliahan bidang tafsir hadits di beberapa sekolah tinggi cukup menyedihkan.

Hermeneutika menjadi sebuah mata kuliah yang berimplikasi pada dekonstruksi dan desakralisasi konsep teks al-Qur’an. Hermeneutika yang pada hakikatnya dipakai sebagai alat dan metode memahami Bible akhir-akhir ini justru gencar digunakan oleh para pengikut orientalis untuk digunakan sebagai acuan memahami al-Qur’an. Sehingga yang ada bukan pemahaman yang baik terhadap al-Qur’an tetapi justru berakibat pada perusakan makna yang utuh terhadapnya dan mereduksi nilai-nilai makna yang suci dari al-Qur’an.

Bagaimanakah al-Qur’an menurut Ulama ?
Menurut konsep Islam yang benar, al-Qur’an merupakan kitab yang secara lafadz maupun makna ( lafdzon wa ma’nan ) berasal dari Allâh ta’ala, yang DIA turunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat Jibril. Sehingga yang suci dan mulya dari al-Qur’an tidak hanya terbatas pada level makna yang dikandungnya, tetapi juga mencakup mushaf yang memuat lafadz-lafadz dari makna-makna tadi. Maka sangat tidak benar jikalau melakukan penghinaan terhadap mushaf al-Qur’an, bahkan penghinaan ini berakibat pada kekafiran si pelakunya. Na’ûdzubillâh.

Betapa aneh dan konyol cara berfikir liberal yang berasumsi bahwa al-Qur’an adalah produk manusia serta produk budaya yang tidak patut disucikan dan dimuliakan. Logika ini sangatlah keliru. Sebab secara akal sangat jelas bahwa suatu tulisan yang menjadi simbol sesuatu yang suci dan mulia maka tulisan itupun menjadi suci. Akan sangat beda nilai suatu tulisan yang bertuliskan Presiden Jokowi dengan kertas yang bertuliskan cekeran ayam. Dapat anda bayangkan seumpama kertas yang bertuliskan “ Jokowi ” itu diinjak dihadapan pak Jokowi, pasti pak Jokowi akan lansung tersinggung, dan bahkan menempuh jalur hukum atas tindakan tidak bernorma tersebut. Nah, bagaimana jika yang diinjak itu adalah nama “Allâh”?

Dalam al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa nilai sakralitas al-Qur’an dijunjung tinggi, sampai tidak diperkenankan menyentuh al-Qur’an kecuali oleh mereka-mereka yang suci dan disucikan. Pada hakikatnya, deskralisasi dan dekonstruksi terhadap al-Qur’an tidak jauh beda dengan pendustaan terhadap al-Qur’an itu sendiri. Wallâhu a’lam.

Dalam kitab al-Burhan, K.H. Abdul Wahid Hasyim menjelaskan bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, sebab al-Qur’an merupakan kalam Allâh, dan kalam Allâh adalah termasuk sifat, sedangkan sifat Allâh itu tidak makhluk. Sehingga secara lafadz dan makna, al-Quran adalah kitab suci yang harus dimuliakan. Bahkan para ulama sepakat bahwa siapapun yang mengingkari atau menggugat satupun huruf dari al-Qur’an maka dia telah kafir.

Ditulis Oleh

Author
Heri Mahfudhi, Lc
Penulis Ghozwul Fikri - MPAQ
Nantikan Ghozwul Fikri berikutnya, hanya ada di www.mpaqpusat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar